Pasar keuangan global sedang mengalami perubahan besar yang tidak terlihat. Ibu rumah tangga di Jepang yang mengelola aset keluarga senilai 150 triliun dolar AS kini menjadi kekuatan kunci yang memengaruhi BTC, ETH, dan bahkan alokasi aset global.

Inti dari logika ini sangat jelas: Selama lebih dari satu dekade terakhir, keluarga Jepang telah mengadopsi model arbitrase yang tampaknya sempurna — meminjam yen dengan suku bunga mendekati nol, mengonversinya menjadi dolar, dan kemudian menginvestasikannya di saham dan obligasi AS, meraih selisih nilai tukar dan selisih suku bunga. Bahkan Buffett pun memuji strategi ini.

Namun sekarang situasinya berbalik. Federal Reserve mulai menurunkan suku bunga, sementara Bank Jepang menaikkan suku bunga menjadi 0,75% untuk pertama kalinya dalam 30 tahun, selisih suku bunga antara AS dan Jepang menyusut dengan cepat. Ini berarti ruang arbitrase yang sebelumnya stabil telah sepenuhnya menghilang.

Masalah yang lebih rumit datang - keluarga-keluarga ini perlu membayar kembali utang yang dipinjam dalam yen. Satu-satunya cara adalah dengan menjual secara besar-besaran saham AS dan obligasi AS yang dimiliki untuk menukar dolar AS kembali menjadi yen. Ini bukanlah penyesuaian aset yang teratur, melainkan aliran balik modal senilai triliunan yang dapat memicu kepanikan global.

Bayangkan apa artinya ini bagi BTC, ETH, dan seluruh pasar kripto? Ketika kekuatan pembeli yang paling stabil dan tahan lama (tabungan rumah tangga) tiba-tiba berbalik menjadi penjual, dampaknya akan jauh lebih besar dibandingkan dengan pengalihan posisi oleh lembaga mana pun. Aliran besar modal dari Timur ini sedang menjadi angsa hitam terbesar yang dihadapi pasar global pada tahun 2025.

Apa yang sebenarnya ditakuti Wall Street bukanlah kenaikan suku bunga itu sendiri, tetapi menemukan bahwa pemain yang benar-benar dapat memengaruhi pasar tidak pernah berada di ruang perdagangan New York Stock Exchange, melainkan di ruang tamu dari sejumlah keluarga biasa di seberang lautan.